TPOLS Sebut Kondisi Buruh Sawit Belum Ideal, Pemerintah Belum Bekerja Optimal

Ilustrasi ; Pemanen Sawit Melakukan Pekerjaannya di Perkebunan. Foto Sawit Watch.

HARIANRAKYAT.CO, JAKARTA – Struktur dan peristilahan kolonial seperti Afdeling atau Komidel adalah bagian dari keseharian masyarakat kebun. Walaupun industri ini sudah ratusan tahun lamanya, kondisi buruh perkebunan sawit masih jauh dari ideal.

Bagaimana kondisi buruh dan masyarakat kebun? Apa saja ciri khas yang dapat ditemui di antara berbagai kebun yang tersebar di wilayah-wilayah berbeda? Bagaimana perkembangan-perkembangan industri sawit di pasar global dan siapa yang menikmati hasilnya? Apa saja upaya-upaya mengatur pasar sawit global dan apa dampaknya bagi buruh dan masyarakat kebun?

Dalam rangka menjawab pertanyaan itu, serikat-serikat buruh, pejuang agraria dan kelompok sipil yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit (Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network/ TPOLS) berupaya memberikan ulasan hal-hal penting seputar buruh perkebunan sawit yang terjadi sepanjang tahun 2024.

Koordinator TPOLS, Rizal Assalam menyampaikan hasil catatan Jaringan TPOLS yang menunjukkan terdapat enam ciri khas industri perkebunan sawit yang merusak, temuan-temuan ini masih relevan dengan adanya kumpulan kasus yang ditemui pada tahun 2024.

Konferensi pers Catahu 2024 bertempat Sekretariat KPBI, Jalan Cumi – Cumi, Kecamatan Rawa Mangun, Jakarta Timur hari Jum’at (27/12/2024).

“Pertama adalah kondisi kerja yang buruk terkait upah rendah, lalu kedua eksploitasi berdasarkan gender dan kondisi kerja mematikan, ketiga cacat sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan proses audit yang dimanipulasi, keempat ekspansi perkebunan sawit, pertanian kontrak/ plasma, dan konflik tanah, dan kelima penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan, serta ketidakbebasan berserikat dan pemberangusan serikat,” kata Rizal sapaannya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) mengungkap, tidak adanya perlindungan terhadap buruh kebun ini diakibatkan regulasi nasional yang buruk.

“UU Cipta Kerja telah memperkokoh praktek eksploitatif di perkebunan dengan memberikan landasan hukum yang membenarkan perekrutan buruh kasual/ musiman dengan upah satuan hasil dan satuan hari kerja,” ujar Damar Panca.

Lanjut kata Oncom sapaan Damar Panca, praktik eksploitasi Buruh di Perkebunan Sawit yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 tidak berjalan karena pengawasan dari Kemenaker RI tidak berfungsi maksimal.

“Pemerintah tidak memiliki kehendak politik untuk melakukan perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh kelapa sawit,” tegasnya.

Sementara itu, Uli Arta Siagian dari Walhi Eksekutif Nasional menegaskan, regulasi tingkat global seperti Regulasi Uni Eropa tentang Anti Deforestasi (European Union Deforestation Regulation/ EUDR) dan Arahan Kewajiban Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan (Corporate Sustainability Due Diligence Directive/ CSDDD) yang diterapkan beberapa tahun ke depan memunculkan pertanyaan terkait dampaknya, dan mekanisme perlindungan buruh.

“Pertemuan jaringan TPOLS dengan perwakilan dari Uni Eropa awal Desember lalu menegaskan regulasi internasional perlu memiliki akses terhadap keadilan yang bisa diakses serikat buruh,” ungkap Uli.

Ditambahnya, peraturan nasional saat ini belum mampu menjawab persoalan perburuhan di sektor perkebunan sawit.

“Penyerahan aspek perlindungan buruh pada peraturan nasional tidak akan efektif di situasi ketika peraturan nasionalnya tidak berpihak pada buruh,” sebutnya.

Kekosongan hukum ini mendapat perhatian dari Hotler Zidane Parsaoran dari Sawit Watch. Ia menggarisbawahi bagaimana UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang digunakan saat ini kurang representatif untuk melindungi buruh perkebunan sawit.
Lanskap dan kondisi kerja di perkebunan sawit cenderung berbeda dibandingkan industri sektor manufaktur.

“Hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja. Masalah-masalah dasar seperti hubungan kerja, K3, sanitasi, air bersih yang cukup, fasilitas kesehatan tidak disediakan dengan layak dari perusahaan,” papar Zidane.

Kendati sebelumnya telah ada upaya mendorong Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit. Namun dukungan tersebut tidak diikuti dengan kebijakan-kebijakan penting terkait perlindungan ketenagakerjaan untuk buruh perkebunan sawit.

“Pemerintah banyak memberi dukungan masif terhadap industri ini melalui kebijakan revitalisasi perkebunan, pembangunan kawasan ekonomi khusus, pengembangan biodiesel hingga melobi negara-negara konsumen,” jelas Zidane lagi.

Ia menegaskan, RUU ini perlu masuk dalam prolegnas prioritas. Perlu transisi yang adil dalam industri sawit yang menyasar corak produksi eksploitatif.

Deklarasi Sambas yang dikeluarkan oleh jaringan TPOLS dibuat sebagai acuan tuntutan-tuntutan yang relevan untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologi di perkebunan sawit. (*)

Bagikan: