Sejatinya Organisasi sebagai alat berjuang orang-orang didalam untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu. Kolektifitas membuat seluruh orang didalamnya bergerak dinamis dan menghilangkan watak patron dalam organisasi. Namun berbeda ketika organisasi yang dipimpin berwatak hirarkis dan birokratis, otoritarian akan membentuk masyarakat tersebut, dan berujung sebagai alat organisasi yang hanya memenuhi subjektif mereka yang mengendalikannya.
OPINI : Rahmadani
HARIANRAKYAT.CO – Pergerakan mahasiswa islam Indonesia telah memasuki usia yang ke 64 tahun.
Usia yang sudah cukup tua bagi sebuah organisasi. Terhitung sudah tiga fase dilalui Mulai dari orde lama, orde baru hingga reformasi.
PMII terus eksis hingga hari ini. Sebagaimana kita ketahui, era baru telah dimulai, kita menyebutnya sebagai Era Disrupsi.
Periode dimana teknologi, inovasi, dan perubahan sosisal secara signifikan mengganggu atau mengubah industri, bisnis, dan cara hidup manusia secara keseluruhan.
Hal ini juga berdampak pada kehidupan organisasi kemahasiswaan tak terkecuali PMII. Era disrupsi mengubah cara pandang mahasiswa terhadap Pendidikan. Mahasiswa yang tadinya memaksimalkan jenjang perguruan tinggi dengan mengikuti organisasi guna meningkatkan kemampuan diri, hingga menambah pertemanan dan relasi. Hari ini justru berfokus untuk lekas wisuda dan mencari kerja.
Semakin sedikit mereka yang peduli pada sesama dan rakyat miskin kota, Pendidikan yang seharusnya bisa memperhalus perasaan justru hanya sekedar memenuhi kriteria Perusahaan. Pada tubuh PMII sendiri perubahan yang sangat dirasakan adalah sulitnya menjaring mahasiswa baru untuk sudi bergabung manjadi anggota.
Kemerosotan kaderisasi bukan hanya di rasakan beberapa daerah tetapi sudah menjadi problem nasional. Abrasi kaderisasi harus segera ditemukan solusinya. Ini bukan tentang kebijakan tetapi tentang perasaan.
Metode pengkaderan yang sudah usang harus dirombak dan menyesuaikan, budaya militeristik bukanlah cerminan insan ulul albab. Romantisme kaderisasi wajib tercipta pada setiap jenjang pengkaderan, maka dengan begitu kehangatan menjadi sahabat tidak hanya terasa pada malam-malam mapaba saja tetapi terus terasa setiap harinya.
Para kader PMII harus bangga telah menjadi anggota, maka dengan begitu para mahasiswa baru-pun akan mulai mencari tahu kenapa para anggota PMII begitu bangganya terhadap organisasi.
PMII di Era Disrupsi juga harus segera introspeksi diri, beberapa hal yang memang sudah tidak relevan sudah seharusnya di tinggalkan. Budaya “antri” yang hari ini masih saja dilestarikan, budaya ini membuat para kader yang memang memiliki kualitas harus mengalah kepada senior yang hanya menang usia dan beruntung lebih dulu bergabung ke PMII.
Kita hidup di zaman perang bebas, dimana setiap orang bersaing dengan kemampuan, bukan karena lebih tua. Efektifitas distribusi bisa tercapai hanya dengan perlakuan yang sama.
Perlakuan yang sama terhadap seluruh kader, dengan begitu seluruh kader PMII akan memaksa dirinya untuk menjadi pantas. Jangan sampai tunas-tunas muda itu harus menelan rasa kecewa karena menunggu giliran yang terlalu lama.
PMII di era disrupsi harus bisa menyesuaikan diri, dengan kritis-kolaboratif sebagai pedoman pergerakan. Mengkritisi setiap kebijakan demi kemaslahatan bukan berarti menutup diri untuk saling berkolaborasi. Pada akhirnya setiap kader memiliki cara berkhidmatnya masing-masing, tidak ada satupun yang berhak membuat indikatornya. (***)