HARIANRAKYAT.CO – Wacana mengenai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, kembali memicu gelombang penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat. Suara keberatan ini tidak hanya datang dari kalangan akademisi dan sejarawan, namun juga dari keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa Orde Baru. Mereka mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan ulang wacana tersebut, mengingat catatan kelam sejarah yang melekat pada kepemimpinan Soeharto.
Penolakan ini menguat setelah munculnya desakan dari beberapa pihak agar Soeharto diberikan gelar Pahlawan Nasional, dengan alasan kontribusinya dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas negara. Namun, bagi sebagian besar pihak, klaim tersebut tidak bisa menutupi berbagai pelanggaran HAM, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela selama 32 tahun kepemimpinannya.
Pada hari Hari Jumat, Tanggal, 23 Mei bertempat di Gedung LBH Jakarta, sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan keluarga korban pelanggaran HAM berat Orde Baru menggelar konferensi pers. Mereka secara tegas menolak wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
dalam konpers tersebut, Akademisi/Sejarawan, Dr. Bima Sakti, Sejarawan Universitas Indonesia menyatakan bahwa “Kami menolak dengan tegas wacana ini karena penganugerahan Pahlawan Nasional harus didasarkan pada rekam jejak yang bersih dari pelanggaran HAM berat dan korupsi. Sejarah mencatat, era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto diwarnai oleh berbagai pelanggaran HAM yang sistematis, mulai dari peristiwa ’65, Talangsari, Tanjung Priok, hingga pembunuhan misterius (Petrus). Tidak hanya itu, praktik KKN juga mencapai puncaknya di era tersebut, merugikan negara triliunan rupiah. Bagaimana mungkin seseorang dengan catatan seperti ini bisa kita angkat sebagai pahlawan yang harus menjadi teladan bagi generasi penerus?”
“Pembangunan memang terjadi, itu tidak bisa dimungkiri. Namun, pembangunan tersebut seringkali dilakukan dengan mengorbankan hak-hak rakyat, pengekangan kebebasan berpendapat, dan penciptaan utang luar negeri yang masif. Stabilitas yang tercipta pun adalah stabilitas semu yang didasari oleh represi dan ketakutan. Pahlawan sejati tidak membangun di atas penderitaan rakyatnya. Kita harus melihat konteks keseluruhan, tidak hanya parsial.” Ucap Bima sakti
Pada kesempatan yang sama, perwakilan dari keluarga korban pelanggaran HAM berat juga menyampaikan suara hati mereka, yang diselimuti duka dan tuntutan keadilan yang belum terpenuhi.
Perwakilan Keluarga Korban HAM, Ibu Sri Lestari, Koordinator Jaringan Korban Orde Baru mengatakan “Saya di sini sebagai perwakilan dari ribuan keluarga korban yang kehilangan anggota keluarganya secara tidak adil di masa Orde Baru. Ayah saya hilang, tanpa kejelasan, hanya karena dituduh terlibat sesuatu yang tidak pernah terbukti. Hingga hari ini, kami tidak pernah mendapatkan keadilan, tidak ada pengakuan, apalagi permintaan maaf dari negara. Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan mengkhianati perjuangan kami, mengkhianati memori pahit yang kami alami.”
lanjut Bu Sri Lestari, “Kami mendesak pemerintah untuk mendengarkan suara kami, suara para korban. Jangan sampai sejarah diputarbalikkan. Prioritaskan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, tegakkan keadilan bagi kami. Jangan menambah luka kami dengan mengkultuskan sosok yang bertanggung jawab atas penderitaan ini. Pahlawan adalah mereka yang berjuang untuk keadilan dan kemanusiaan, bukan sebaliknya.”
Penolakan ini juga mendapatkan dukungan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil yang menyerukan agar pemerintah tetap berpegang pada prinsip keadilan dan HAM dalam menentukan sosok pahlawan. Mereka mengingatkan bahwa gelar Pahlawan Nasional adalah bentuk penghargaan tertinggi dari negara yang harus merefleksikan nilai-nilai luhur bangsa.
“Pemerintah harus belajar dari pengalaman sebelumnya. Wacana ini selalu menimbulkan gejolak dan luka lama. Sudah saatnya kita move on dengan menuntaskan permasalahan di masa lalu, bukan dengan menciptakan perdebatan yang kontraproduktif,” tegas Haris Azhar, dari Lokataru] dalam kesempatan terpisah.(drm)