Merampas Ruang Hidup Rakyat, Ilusi Kesejahteraan di Perkebunan Sawit

Koordinator Jaringan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) Rizal Assalam.

HARIANRAKYAT.CO – Jaringan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) membeberkan pelbagai masalah dari Industri sawit tanah air sepanjang tahun 2024.

Mulai dari dugaan kuat perampasan lahan warga, Kerusakan lingkungan, Konflik Agraria, dan Politik Upah Murah Negara.

Koordinator TPOLS, Rizal Assalam seusai agenda konferensi pers di Sekretariat Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jalan Cumi – Cumi 1, Rawa Mangun, Jaktim hari Jum’at (27/12/2024) lalu.

TPOLS berupaya mendorong penyatuan konkrit para penggiat agraria, lingkungan dan aktivis. Mendorong pengorganisiran masyarakat terdampak industri di perkebunan kelapa sawit. Berikut catatan redaksi seusai agenda jumpa media.

Rizal menjelaskan, Visi TPOLS membangun aliansi antara kelompok buruh, lingkungan dan agraria lantaran ketiga elemen diatas punya kepentingan dan tugas melawan dibalik banal nya Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia yang tidak adil, dan korban dari pemiskinan industri sawit yang busuk. Namun pada realitanya ketiga kelompok ini berjalan sendiri dan terkadang ada pertentangan yang pada prinsipnya ada titik temu, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Kerap tanpa ujung kasus – kasus di Perkebunan Sawit karena konsolidasi ide masih minim. Karena itulah yang membuat tiga kelompok ini memiliki kecendrungan bersaing dan berkompetisi yang pada gilirannya berkonflik,” kata Rizal kepada media ini.

Semisal kasus perampasan lahan di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah. Petani yang mau mereklaiming lahannya dibenturkan dengan buruh sawit. Buruh dibenturkan dengan petani dibawah tekanan perusahaan, yaitu ketika petani memanen buah sawit membuat buruh tidak bisa mendapat gaji dari perusahaan karena dihasut pengusaha untuk melarang petani memperjuangkan buah sawit yang tidak sebanding luasnya kebun yang dimiliki pemilik modal.

“Buruh sawit dibuat ketergantungan dengan perusahaan,” ucap Rizal.

Ditambahnya, Uni Eropa berinisiatif membuat Undang – Undang Anti Deforestasi atau penggundulan hutan. Lantaran diduga melanggar aturan, perusahaan juga menakuti buruh tentang keberlangsungan pekerjaan di kebun. Perusahaan berdalih tidak bisa impor karena ada larangan dengan syarat harus mengelola perusahaan dengan prinsip anti kerusakan lingkungan.

“Visi TPOLS membuat pertemuan. Isu terkait masalah kualitas air. Dari isu yang dekat dengan keseharian ini harapannya kelompok aliansi ini bisa bertemu,” imbuhnya.

Industri Sawit menjalankan proses produksi yang sangat komplek. Sehingga usaha dalam membangun jaringan di dalam negeri mesti dilakukan karena tapi bagian dari rantai pasok pengolahan di India dan Asia dan muali ekspansi ke Afrika.

“Harapannya menjadi 1 koalisi bersama,” ungkap Rizal lagi.

Konflik agraria warga di lingkar perkebunan sawit dibeber Rizal juga kerap berujung pada kriminalisasi, peta konflik sawit ini bukan hal baru dalam gerakan. Bahkan disadari jaringan TPOLS, masifnya perluasan modal sawit secara agresif belum diisi gerakan dengan perspektif berbasis keadilan sumber daya alam.

“Pengorganisiran harus disuport karena ada keterkaitan gerakan di akar rumput,” terangnya.

Menurut Rizal, Ekspansi sawit tidak hanya merubah lanskap tapi juga merubah penghidupan warga sekitar kebun sawit menjadi kehilangan karena ekosistem menjadi terdegradasi.

“TPOLS mencoba membangun jembatan kepentingan bersama antara masyarakat, kelompok buruh dan lingkungan dengan pengorganisiran, advokasi dan kampanye,” jelasnya.

Daerah yang sebelumnya disentuh jaringan ini ada di Provinsi Riau melalui komunitas adat. Lalu Kalimantan Barat yang saat disebutnya dalam rintisan buruh migran, AGRA, advokad dan kerjasama dengan grub sebagai upaya membangun kolaborasi. Kelompok agraria saat ini juga membangun Aliansi lokal yang multi sektor. Semisal Kalteng yang didampingi dari kelompok buruh, Serikat Buruh Sawit Indonesia yang menuntut lahan plasma 20 persen dari HGU perusahaan perkebunan sawit.

Negara punya kepentingan ekonomi dari industri sawit, terbukti mulai dari stimulus dan kebijakan digulirkan untuk memuluskan jalannya penetrasi modal yang ugal-ugalan. Perluasan ini untuk membenarkan dengan cara pemutihan terhadap izin kelola kebun sawit, karena dengan begitu dianggap tidak melanggar UU Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).

Lebih lanjut kata Rizal, dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor sawit memunculkan mobilisasi aparatur keamanan. Tentu saja menurutnya ketika rakyat protes dengan perusahaan, penyelesaian berujung pada kriminalisasi masyarakat sipil, sebagai contoh Desa Bangkal, Seruyan, Kalteng menggunakan kekerasan berlebihan dan parahnya, lokasi perkebunan yang berkonflik terisolasi karena infrastruktur komunikasi yang tidak ada.

“Selama setahun tidak ada perubahan berarti. Situasi dan kondisi sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya,” tegasnya.

Terkait dengan wacana pemerintah tentang transformasi transisi energi fosil ke minyak sawit Rizal pesimistis bisa berjalan. Hal itu lantaran produksinya yang kotor. Biofuel bisa terus menerus dibuat, namun pengelolaan perkebunan sawit dari perusahaan produksinya tidak ramah lingkungan.

Hal itu lantaran kebun sawit budidayanya mono kultur dan merusak ekosistem karena tidak alamiah. yakni menggunakan bahan pestisida hama yang tidak baik dari segi ekologi. Lalu masalah lainnya seperti degradasi kualitas tanah karena selain sawit tidak bisa tamanan lainya tumbuh, dan tingkat kesuburan menurun karena sawit rakus air.

Tentang Isu sosialnya diklaim pemerintah dapat menyerap tenaga kerja besar itu tidak benar. Hal itu karena rata rata buruh kebun menggarap 5 sampai 7 hektar dan bekerja lebih 8 jam setiap buruh.

“Karena perusahaan cari untung, hingga menekan jumlah tenaga kerja. Jadi diam tidak beraksi bukan jadi pilihan,” ujarnya

TPOLS memberikan solusinya lewat kampanye reforma agraria, karena masalah ini tidak akan bisa selesai selama sumber daya dikuasai perusahaan dan buruh menjadi ketergantungan karena tidak memiliki aset. Solusi juga Bukan land reform Jokowi yang bagi’ – bagi Sertifikat tanah untuk individu, namun karena kelolanya yang individu bukan kelompok, membuat tanah dijual kembali kepada perusahan.

Aliansi program advokasi, pengorganisiran dan kampanye ini melibatkan Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KPBI), Konsorsium Pembaru Agraria (KPA), Sawit Watch, Serikat Pekerja Sawit Indonesia (SPASI) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). (Y)

Bagikan: