Ekonom Soroti Kejanggalan Data Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 2025

ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda.

HARIANRAKYAT.CO – Data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) memicu perdebatan. Meski mencatat pertumbuhan sebesar 5,12 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), angka tersebut dinilai tidak mencerminkan kondisi ekonomi riil oleh sejumlah pengamat, salah satunya ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda.

“Pengumuman pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 penuh kejanggalan dan tanda tanya publik. Saya tidak percaya dengan data yang disampaikan (BPS) mewakili kondisi ekonomi yang sebenarnya,” ujar Nailul, dikutip dari detikcom, Selasa (5/8/2025).

Menurut Nailul, ada beberapa indikator yang dianggap tidak sinkron dengan angka pertumbuhan yang dirilis. Ia menyoroti kuartal II justru mencatat pertumbuhan lebih tinggi dibanding kuartal I yang biasanya menjadi puncak konsumsi nasional karena bertepatan dengan Ramadan dan Lebaran.

“Triwulan I 2025 saja hanya tumbuh 4,87 persen. Jadi cukup janggal ketika pertumbuhan triwulan II mencapai 5,12 persen, padahal tidak ada momentum besar seperti Ramadan dan Lebaran yang biasa mendorong konsumsi,” kata dia.

Lebih lanjut, ia menyoroti konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,96 persen. Menurutnya, pertumbuhan tersebut terlalu tinggi untuk periode tanpa insentif musiman.

“Tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat tajam. THR dan libur panjang pun terjadi di triwulan sebelumnya,” ujarnya.

Sektor industri pengolahan juga dinilai menyimpan kejanggalan. Meski tercatat tumbuh 5,68 persen, Nailul menyebut capaian tersebut tidak sejalan dengan data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang selama April hingga Juni 2025 berada di bawah ambang ekspansi, yakni 50 poin.

Selain itu, ia juga menyoroti pelemahan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari 121,1 pada Maret menjadi 117,8 pada Juni 2025, yang dianggap tidak mendukung narasi optimisme pertumbuhan. Meskipun Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 6,99 persen, hal itu belum cukup menjelaskan lonjakan pertumbuhan dalam konteks lemahnya sektor manufaktur.

“Apabila dikaitkan dengan PMTB yang meningkat 6,99 persen tapi PMI manufaktur di bawah batas ekspansi, tentu tidak sejalan,” jelas Nailul.

Ia menekankan perlunya transparansi dari BPS dalam menjelaskan metodologi perhitungan pertumbuhan ekonomi, termasuk indikator dan pendekatan yang digunakan.

“Ketidaksinkronan antara data pertumbuhan ekonomi dengan leading indikator membuat saya pribadi tidak percaya terhadap data yang dirilis oleh BPS,” tegasnya.

“BPS harus menjelaskan secara detail metodologi yang digunakan, termasuk indeks untuk menarik angka nilai tambah bruto sektoral dan juga pengeluaran,” pungkas Nailul. (*)

Bagikan: