Tulisan Ini adalah cerita fiksi, jika ada kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Oleh ; Yoyok Sudarmanto
HARIANRAKYAT.CO – Gajah adalah binatang besar bertaring dan kuat. Hewan ini menjadi perlambang keistimewaan bagi masyarakat dan dilindungi sebagai satwa.
Bahkan gajah dalam sejarahnya menjadi pilar kekuatan kerajaan dengan membentuk pasukan gajah.
Kaltim memang bukanlah habitat bagi gajah, saya hanya menganalogikan hewan tersebut sebagai perumpamaan dari praha perburuan sekawanan Gajah di Kaltim lewat titah sang pemenang, pemilik tanah air kerajaan sang wangsa.
Perburuan yang dilakukan para senopati dari kerajaan wangsa bukanlah sesuatu yang timbul dengan sendirinya.
Membuat Gajah dan kelompoknya saat ini merasa tidak tenang dimana sebelumnya kelompok ini hidup damai di hutan belantara.
Mereka para abdi kerajaan dalam melakukan perburuan membuat rencana penyergapan gajah dengan sangat sistematis dan efektif. Karena perburuan ini melintasi lautan yang berjarak ribuan kilometer.
Menggunakan perahu besar dan awak kapal yang berpengalaman mereka hanya perlu waktu 2 sampai 3 hari untuk mencapai tempat sang Gajah.
Persenjataan mereka cukup canggih dengan teknologi yang sudah terbukti berhasil dalam setiap perburuan. Ketika senjata dilepaskan, segala benda yang hidup bisa mati seketika.
Operasi perburuan ini bukan tanpa alasan, awalnya sang Gajah adalah teman bagi kerajaan wangga. Namun ketika perang berkecamuk, sang Gajah berpihak kepada tuan lainnya dan membuat salah satu pihak tidak terima.
Bukan hanya di bumi timur nusantara yang mengalami perburuan, di wilayah lainnya juga para abdi kerajaan sedang memburu gajah – gajah di wilayah lain untuk merampas harta guna menutup biaya perang.
Dalam kerajaan digdaya itu, ada tiga wangsa yang sedang memperebutkan tahta. Karena kelompok Wangsa memenangkan pertarungan, operasi perburuan dan perampasan dilakukan.
Menjadi hukum alam, yang kuat yang berkuasa. Yang kalah harus tunduk pada sang pemenang dengan menyerahkan kekuasaannya agar kekuasaan sang wangsa tetap bercokol di daerah taklukannya.
kelompok gajah ini sebelumnya memiliki pengaruh yang kuat, kawanannya memiliki peran penting di bumi timur nusantara.
Akibat operasi perburuan kerajaan Wangsa, sang Gajah pun seolah tidak memiliki taji lagi untuk bertarung dan menunggu eksekusi senopati serta pengampunan dari sang raja.
Sejarah mencatat, perburuan hewan menjadi kegiatan para bangsawan dan ksatria kerajaan di masa lampau sebelum dan sesudah kemenangan dalam peperangan sebagai sarana spiritual dan hiburan bagi keluarga kerajaan. (***)