Agent of Change: Kiprah Pemuda Dalam Upaya Meningkatkan Budaya Literasi di Daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal)

Shidiq Umar Widodo – Mahasiswa Unmul

HARIANRAKYAT.CO, SAMARINDA – Di era ini tidak bisa dipungkiri bahwa budaya literasi peserta didik yang ada disuatu negara menentukan kemajuan pendidikan bangsa. Karena kemampuan berliterasi adalah modal awal untuk meraih kesuksesan dalam belajar bagi peserta didik.

Salah satu indikatornya adalah semakin baiknya tingkat literasi siswa ditandai dengan semakin baiknya pemahaman dan daya serap dalam proses pembelajaran (Ilma & Ibrohim, 2020). Pada tahun 2016 organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) melakukan penilitian terhadap 61 negara didunia yang dimana negara Indonesia tergolong sangat rendah dalam kebiasaan membaca.

Hasil riset yang diterbitkan dengan nama “The World’s Most Literate Nations”, menampilkan Indonesia terletak di peringkat ke- 60, berada satu tingkat diatas negara Botswana (Hutapea, 2019). Tidak hanya itu, UNESCO juga menginformasikan bahwa budaya literasi di Indonesia hanya mencapai 1 % yang menggemari aktivitas membaca serta 99 % tidak menggemari aktivitas membaca. Khususnya pada kalangan anak-anak budaya literasi masih minim karna banyak diantara anak-anak yang hanya membaca satu buku bahkan tidak sama sekali dalam satu bulan maupun satu tahun (Mulasih & Hudhana, 2020).

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lukman Solihin mengatakan, ada empat dimensi indeks literasi yang menjadi subyek kajian, yaitu dimensi kecakapan, akses, alternatif, dan budaya. Hasil survei dari keempat dimensi tersebut adalah dimensi kecakapan 75,92%, dimensi akses 23,09%, dimensi alternatif 40,49%, dan dimensi budaya 28,50% (Hutapea, 2019).

Beberapa kesenjangan ditemukan. Pertama, kesadaran yang sangat rendah tentang pentingnya membaca. Masyarakat berpikir membaca hanyalah menyia-nyiakan waktu saja. Kedua, mahalnya harga buku dan tidak adanya perpustakaan, terutama di daerah yang terpencil. Biaya buku mahal, sehingga relatif sedikit orang yang mampu membeli buku. Dan juga, membeli buku tidak dipandang sebagai kebutuhan. Membeli buku hanya di sekolah, dan anehnya saat itu, tidak semua siswa melakukannya. Sebagian kecil saja, orang- orang yang mampu dan suka membaca (Wahyuni & Pramudiyanto, 2015).

Baca juga  Pilkada Halmahera Tengah: Demokrasi Subtansial dan Dominasi Oligarki

Rendahnya kemampuan literasi peserta didik Indonesia menunjukkan bahwa interaksi pembelajaran yang terjadi selama ini belum sampai pada tahap mengembangkan motivasi keinginan untuk memperoleh ilmu pengetahuan (Ilma & Ibrohim, 2020). Khususnya di daerah 3T yang merupakan daerah terdepan, terpencil dan tertinggal di Indonesia. Sebagian besar daerah 3T merupakan jalur tapal batas Indonesia.

Antusias dan semangat mereka dalam belajar juga sangat rendah mengingat tidak adanya motivasi dari masyarakat daerah sekitarnya, terutama orang tua mereka yang kurang memotivasi pentingnya pendidikan. Sudah saatnya para pemuda berkiprah dengan adanya masalah ini karna pemuda adalah penopang kehidupan negara, dimana serah terima kemerdekaan Indonesia akan silih berganti dalam genggamannya. Banyak pemikiran dan perkembangan kreatif muncul karena bagian dari pemuda (Novembry & Zahroh, 2020).

Budaya literasi membutuhkan penyesuaian dan perhatian dilingkungan sekitar. Orang tua seharusnya mengarahkan anak-anak mereka sejak dini untuk suka membaca. Usia dini adalah usia yang cemerlang (golden age) dimana anak-anak memiliki ingatan yang panjang dan juga merupakan kesempatan cemerlang seorang anak muda untuk mempelajari sesuatu untuk mengembangkan motivasi keinginan untuk memperoleh ilmu pengetahuan (Mulasih & Hudhana, 2020).

Baca juga  Proyek Ketahanan Pangan yang Merusak Hutan digaungkan, Masyarakat Peladang di Singkirkan

Melihat permasalahan pendidikan di daerah 3T, khususnya dalam budaya literasi, banyak pemuda tergerak untuk membantu dalam aspek pendidikan ini. Kontribusi yang dilakukan oleh para pemuda ini tidak secara langsung memberikan dampak yang nyata pada pembangunan pendidikan di Indonesia. Namun, adanya kontribusi yang dilakukan oleh pemuda ini akan memberikan efek positif yang akan dirasakan langsung oleh peserta didik dan masyarakat yang tinggal di daerah 3T.

Peningkatan literasi di daerah 3T pemuda mempunyai tugas atau tanggung jawab yang sangat besar dalam hal ini untuk memberikan contoh bagi masyarakat untuk ikut berkontribusi meningkatkan budaya literasi. Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan. Pertama, memberikan pemahaman tentang akses internet

untuk memperoleh informasi terbaru yang sedang diperbincangkan baik skala nasional maupun internasional di beberapa daerah yang memang memungkinkan untuk bisa mengakses internet, tetapi bagi daerah yang tidak memungkinkan dapat mengakses internet bisa dengan cara menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan kondisi lingkungan disana. Kedua, membuat rumah baca sederhana bagi anak-anak dengan mengisi buku- buku bacaan menarik yang tentu saja dapat mengedukasi serta menambah wawasan. Ketiga, menarik simpati masyarakat dan pemuda lainnya untuk ikut berpartisipasi.

Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan gerakan literasi masyarakat dengan mengenalkan buku-buku kepada masyarakat setempat, berkumpul dengan membaca buku bersama saat memulai pertemuan. Bacaan yang diberikan meliputi buku-buku dongeng, cara menanam tanaman, dan majalah sekolah yang berisi karya-karya dari anak-anak peserta didik, sehingga para orang tua dapat merasa senang dengan karya-karya anak-anak mereka.

Baca juga  Wali Kota Samarinda 2025-2029 di Mata Anak Muda Kecamatan Palaran

Setelah mempelajari dan memahami terkait budaya literasi di Indonesia khususnya di daerah 3T, didapatkan hasil bahwa faktor yang mepengaruhi budaya literasi pada diri seseorang ada dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kemauan dan niat diri sendiri sedangkan faktor eksternal berupa stimulasi dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Sementara itu, upaya pemerintah juga diperlukan dalam mendukung budaya literasi ini dengan cara mempersiapkan dana anggaran subsidi buku untuk didistribusikan kepada masyarakat serta mengoptimalkan peran perpustakaan daerah yang ada.

Melalui upaya kontribusi dari para pemuda, masyarakat dan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat yang lebih tinggi untuk membaca sehingga menjadi inspirasi bagi anak dan lingkungan menuju pendidikan Indonesia yang maju.

Referensi :
Hutapea, E. (Erwin Hutapea). “Literasi Baca Indonesia Rendah, Akses Baca Diduga Jadi Penyebab”. Kompas.com. https://edukasi.kompas.com/read/2019/06/23/07015701/literasi-baca- indonesia-rendah-akses-baca-diduga-jadi-penyebab (diakses 20 Maret 2024).

Ilma, T., & Ibrohim, B. (2020). “BERBAGAI KEGIATAN MEMBACA UNTUK MEMICU BUDAYA LITERASI DI SEKOLAH DASAR”. Primary : Jurnal
Keilmuan Dan Kependidikan Dasar, 12(1). https://doi.org/10.32678/primary.v12i01.2708 (diakses 20 Maret 2024).

Mulasih, M., & Hudhana, W. D. (2020). “URGENSI BUDAYA LITERASI DAN
UPAYA MENUMBUHKAN MINAT BACA”. Lingua Rima: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 9(2). https://doi.org/10.31000/lgrm.v9i2.2894 (diakses 20 Maret 2024).

Novembry, D., & Zahroh, S. A. (2020). “Peran Pemuda Memajukan Literasi di Daerah 3T”. KSE UIN JAKARTA.
https://www.kseuinjkt.or.id/2020/01/peran-pemuda-memajukan-literasi- di.html (diakses 19 Maret 2024).

Wahyuni, S., & Pramudiyanto, A. (2015). “Optimalisasi Budaya Literasi Melalui Program Journaling-Feedback”. The 1st International Conference on Languange, Literature and Teaching, 938–944. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/8949/i51.pdf?seque nce=1&isAllowed=y (diakses 18 Juni 2021).

Bagikan: