Dimulai pada masa orde baru, ganja paling umum dianggap tanaman berbahaya yang dapat menjerumuskan generasi penerus, serta menggunakannya dianggap merupakan suatu perbuatan dosa.
OPINI : Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Kaltim, Danendra Pena Jaya.
Harianrakyat.co – Genap enam tahun sudah kisah Fidelis Arie menyerap begitu besar perhatian publik di Tanah Air.
Jika tak dijemput petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalbar 19 Februari 2017 silam, kemungkinan titik awal penelitian manfaat ganja di Indonesia bakal dilakukan kali pertamanya.
Langkah ini tentu saja bisa diambil kalau saja pemerintah, khususnya aparat penegak hukum dan BNN RI, itu mau membuka mata, telinga, hati, dan pikiran yang jernih perihal penggunaan “ganja medis” dewasa ini.
Alih-alih memusnahkannya (yang terbesar pada Maret 2022 sebanyak 115,8 ton ganja dimusnahkan), tanaman bernama latin Cannabis Sativa ini harusnya bisa ikut menopang ekonomi negara. Atau istilah bagusnya menjadi salah satu sumber devisa lewat sektor perdagangan. Kenapa bisa begitu ? Mari kita ulas.
Menyinggung masalah cimeng, baks, gelek, atau apalah sebutannya itu – karena masing-masing daerah memliki penyebutan berbeda – hingga saat ini masih menjadi perdebatan akut. Stigma negatif terhadap ganja sudah kadung mengakar di masyarakat.
Dimulai pada masa orde baru, ganja paling umum dianggap tanaman berbahaya yang dapat menjerumuskan generasi penerus, serta menggunakannya dianggap merupakan suatu perbuatan dosa.
Selain itu, sering pula ganja dikaitkan sebagai tanaman yang memicu seseorang menjadi malas, kehilangan kesadaran dan akal sehat, hingga nekat untuk bertindak kriminal.
Namun demikian, argumen ini mestinya bisa dibantah karena banyak seniman, musisi, artis, hingga orang dengan latar belakang pendidikan tinggi yang mengkonsumsi ganja di dalam proses kreatifnya maupun kehidupan sehari-harinya.
Meskipun, pada ujungnya tak sedikit dari mereka yang harus berakhir di bui. Sebab itu, seperti kata Anji selaku musisi yang pernah terlibat polemik ganja di Indonesia.
“Satu-satunya yang berbahaya dari ganja adalah hukum yang ada di Indonesia sendiri,” ujar Anji.
Pelarangan ganja di Indonesia bermula saat pemerintah resmi meratifikasi kesepakatan hasil Konvensi Tunggal Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) pada 1961 silam.
Kemudian menuangkannya ke dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976. Ganja jadi tanaman setingkat berbahayanya dengan kokain, opium dan narkotika lainnya yang masuk kategori narkotika golongan I.
Pada aturan itu sebetulnya menimbang dua hal yang masih memungkinkan ganja untuk dimanfaatkan: pertama karena narkotika merupakan bahan yang diperlukan untuk kebutuhan pengobatan; kedua untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Namun, karena memiliki zat adiktif yang menimbulkan efek ketergantungan, ganja tak bisa dipergunakan secara massal. Kendati di sisi lain ganja memiliki peluang industri yang besar. Artinya, riset sangat diperlukan untuk menjawab masalah ini.
Manfaat Ganja dan Negara-negara yang Melegalkannya
Sudah bukan rahasia kalau ganja belacak dinilai punya segudang manfaat. Mulai dari serat, biji, akar, hingga daunnya bisa dipakai untuk kebutuhan domestik maupun diekspor ke luar negeri. Paling tidak ada 45 negara yang melegalkan ganja dengan ketentuan regulasi khusus saat ini.
Di Benua Eropa, ada Bulgaria, Kroasia, Cyprus, Republik Ceko, Estonia, Prancis, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lituania, Belanda, dan negara-negara lainnya seperti Australia, Belgia, Finlandia, Jerman sampai Malta dan Portugal. Negara-negara ini melegalkan ganja dengan catatan penggunaan ganja harus dengan resep dokter.
Sementara itu beberapa negara lain mulai menyorot ganja dari sisi sektor industri dan rekreasi dengan penerapan regulasi khusus. Di kawasan Asia Tenggara – Thailand misalnya, ganja dijadikan sebagai salah satu bahan pakan ayam ternak dengan kandungan Tetrahydrocannabinol (THC) rendah, zat yang disebut dapat membuat penggunanya merasakan ‘high’. Selain itu, di Negeri Gajah Putih ini ganja juga dijadikan bahan masakan dan minuman dengan bentuk beranekaragam.
Adapun di Belanda, berdasarkan laporan CNN pada Kamis, 5 Maret 2020, penggunaan ganja di coffee shop atau kedai kopi dan kepemilikan hingga 5 gram untuk penggunaan pribadi tidak akan di kriminalisasi.
Sementara di Indonesia ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menjadi landasan hukum mengatur hulu dan hilir narkotika saat ini. Aturan ini pertama kali ramai disorot setelah kisah Fidelis Ari Sudewarto yang berusaha mengobati istrinya, Yeni Irawati yang menderita kanker tulang sum-sum belakang atau syringomyelia pada 2018 silam.
Fidelis berujung masuk bui dan istrinya meninggal saat Fidelis dipenjara karena tak melanjutkan terapi ganja medisnya.
Kemudian belum lama ini pula tiga Ibu-Ibu didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Rumah Cemara dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) serempak mengajukan Judicial Review atau pengujian perundang-undangan menggugat UU 35/2009 tentang Narkotika.
Tujuannya, tak lain supaya ganja bisa menjadi alternatif obat bagi anak-anak mereka yang menderita pheunomia, cerebral palsy, serta epilepsy. Ganja digadang-gadang bisa legal dan dimanfaatkan dalam konteks kebutuhan tertentu di Indonesia.
Selain masalah kesehatan yang bersifat mendesak, hal yang tak bisa dipungkiri dari tanaman ganja yang bisa didapatkan negara jika melegalkannya adalah dengan mengekspornya menjadi produk turunan berupa baju, tas, sepatu atau aksesoris lain yang bernilai.
Maupun sebagai rempah bahan masakan yang dijual lintas negara. Sudah ada beberapa negara yang mengolah jenis ganja industri ini. Konsep semacam ini, tentunya paling tidak bisa mengurangi utang luar negeri yang per tanggal 31 Oktober 2022 silam telah naik menjadi Rp 7.469.70 triliun — dan ditengarai akan terus bertambah.
Kembali ke masa sekarang, saat ini ganja masih dinyatakan dilarang dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Sebab itu, masyarakat maupun pemerintah sampai saat ini belum dapat mengolah tanaman ganja baik untuk keperluan medis ataupun industri. Akibatnya, persepsi publik terhadap tanaman ganja masih seperti bola panas liar.
Berbeda dengan beberapa negara di benua Asia, Eropa, Amerika Selatan, Amerika Utara dan Amerika Tengah, dan kepulauan Pasifik maupun negara-negara lainnya yang melegalisasi ganja, saat ini terus melakukan kajian pemanfaatan ganja hingga tahap upaya dominasi pasar ganja dunia.
Sebab itu, menurut hemat penulis, pemerintah perlu menimbang-nimbang lagi terkait upaya pemanfaatan ganja di Indonesia. Tentu tidak sembarangan, melainkan perlu membuat regulasi dan standar operasional prosedur (SOP) yang berujung pada perbaikan dan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. (***)