Delapan Dekade Merdeka, Saatnya Indonesia Membangun Dunia Kembali

Ilustrasi Situasi Petani yang Sengsara Karena Belum Sejahtera.

OPINI ; Rivaldi Haryo Seno, Wapres Partai Buruh

HARIANRAKYAT.CO – Tahun ini, Indonesia genap berusia 80 tahun. Usia yang cukup matang untuk merefleksikan ulang: apakah kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 telah mewujud dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial yang berpihak pada rakyat? Apakah bangsa ini, sebagaimana dikumandangkan Bung Karno dalam pidato historisnya di Sidang Umum PBB tahun 1960, “To Build The World Anew”, sungguh-sungguh telah berkontribusi membangun tatanan dunia yang adil?

Pidato Bung Karno itu bukan sekadar pidato perkenalan bangsa muda kepada dunia internasional. Ia adalah sebuah pernyataan politik global, gugatan terhadap tatanan dunia pasca-Perang Dunia II yang tetap memelihara kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk: dominasi ekonomi, intervensi politik, dan ketimpangan struktural antarbangsa. Bung Karno menyerukan perlunya membangun dunia baru—a new world—yang bebas dari penindasan, eksploitasi, dan perang. Indonesia, katanya, tidak akan sekadar duduk diam dalam sejarah, tapi akan berperan aktif membentuk masa depan umat manusia.

Kini, delapan dekade kemudian, amanat itu nyaris hilang dari kesadaran publik dan agenda kenegaraan. Indonesia memang telah mengalami banyak perkembangan: demokrasi bertumbuh (meski tambal sulam), ekonomi berkembang, dan kehadiran global kian kuat. Namun, pertanyaan yang tak terhindarkan tetap menggantung:berkebangnya Indonesia saat ini , untuk siapa?

Bahwa sebagian besar kekayaan nasional dikuasai oleh segelintir elite. Ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin tampak mencolok. Akses terhadap tanah, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak masih jauh dari merata. Di sektor politik, demokrasi kian terjerembap dalam arus persekusi elektoral. Oligarki menjelma menjadi arsitek utama kebijakan publik. Di sisi luar negeri, politik bebas-aktif menyusut menjadi posisi “ikut arus” tanpa keberanian untuk bersikap tegas terhadap ketidakadilan global, dari Palestina hingga tarif dagang AS.

To build the world anew, dalam konteks Indonesia hari ini, bukan sekadar nostalgia pidato Bung Karno, melainkan kompas arah pembangunan nasional dan sikap internasional. Sayangnya, kita kerap puas dengan pencitraan diplomatik dan pembangunan infrastruktur fisik, tanpa membenahi fondasi keadilan sosial yang menjadi semangat utama proklamasi kemerdekaan.

Membangun dunia baru berarti melepaskan diri dari sistem dunia lama. Tapi hingga kini, sistem ekonomi Indonesia masih tunduk pada skema kapitalisme yang menempatkan negara-negara seperti kita sebagai pemasok bahan mentah dan pasar barang jadi. Industri nasional lemah, ketergantungan terhadap investasi asing tinggi, dan orientasi pembangunan masih berbasis ekstraksi sumber daya. Petani digusur, nelayan tergencet, buruh ditekan. Ironis, mengingat Bung Karno dahulu berbicara di PBB sebagai wakil dari negara-negara tertindas dan dengan lantang menyerukan “anti kolonialisme & anti imperialisme”.

Alih-alih menjadi poros perubahan dunia, Indonesia kini lebih sering menjadi bagian dari status quo global. Politik luar negeri bebas-aktif telah kehilangan “aktif”-nya. Saat dunia dilanda krisis iklim, perang, dan ketimpangan teknologi, Indonesia belum menunjukkan keberanian untuk tampil sebagai kekuatan dunia. Bung Karno dulu menggagas Gerakan Non-Blok, menyuarakan nasib Dunia Ketiga, dan menolak tunduk pada kutub kekuasaan global. Kini, posisi semacam itu nyaris tak terdengar.

Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya menjadi momentum untuk mengoreksi arah. Relevansi pidato To Build The World Anew justru makin terasa ketika dunia sedang mengalami disrupsi multidimensi. Tapi membangun dunia baru tidak bisa dilakukan jika bangsa ini tidak lebih dulu membenahi rumahnya sendiri: menegakkan keadilan sosial, memberantas korupsi, melindungi warga negara, dan melepaskan diri dari cengkeraman oligarki.

Bahwa kita harus kembali terhadap gagasan Bung Karno tentang Trisakti yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan adalah jalan yang belum tuntas ditempuh. Ia bukan sekadar narasi kampanye, tetapi strategi kebangsaan jangka panjang. Kita tidak bisa membangun dunia baru jika masih meniru dunia lama yang eksploitatif, eksklusif, dan elitis.

Maka peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia bukan sekadar seremoni. Ia harus menjadi ruang refleksi nasional: bagaimana Indonesia tak hanya menjadi bangsa yang merdeka, tapi juga menjadi bangsa yang memerdekakan. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk dunia.

Karena seperti kata Bung Karno, “We are not asking for crumbs. We are demanding our rightful place in the world.”

Bagikan: