HARIANRAKYAT.CO, SAMARINDA – Suasana Teras Samarinda, Jalan Gajah Mada, tampak berbeda pada Kamis sore (7/8/2025). Aksi Kamisan Kaltim yang telah rutin digelar selama delapan tahun kali ini menghadirkan sosok-sosok penting dalam perjuangan hak asasi manusia Indonesia, yakni Maria Catarina Sumarsih, Suciwati, dan sejumlah aktivis dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Berpakaian serba hitam dan membawa semangat kolektif, kehadiran mereka tidak hanya memperkuat pesan moral aksi Kamisan, tetapi juga mempererat relasi antar generasi dalam perjuangan keadilan. Bagi banyak anak muda di Samarinda yang hadir, ini bukan sekadar mimbar bebas, tetapi ruang pembelajaran langsung dari para pelaku sejarah.
Maria Catarina Sumarsih, atau yang dikenal luas sebagai Ibu Sumarsih, telah menjadi simbol perjuangan tanpa lelah sejak kehilangan putranya, Bernardinus Realino Norma Irawan, dalam tragedi Semanggi I tahun 1998. Aksinya di depan Istana Negara selama lebih dari satu dekade telah menjelma menjadi gerakan nasional yang kini hadir di lebih dari 60 kota, termasuk Samarinda.
Suciwati, istri almarhum Munir Said Thalib, juga hadir membawa narasi panjang perjuangan. Sebelum dikenal sebagai istri aktivis HAM terkemuka, ia telah lama terlibat dalam pengorganisasian buruh di Malang. Setelah kematian Munir akibat pembunuhan dalam penerbangan ke Belanda pada 2004, Suciwati tetap melanjutkan perjuangan tersebut melalui berbagai inisiatif advokasi dan pendidikan publik, termasuk mendirikan Museum Omah Munir dan mengampanyekan gerakan Menolak Lupa.
KontraS sebagai organisasi yang lahir dari desakan publik untuk mengungkap kasus penghilangan paksa, terus memainkan peran penting dalam advokasi korban pelanggaran HAM berat. Dalam perkembangannya, organisasi ini telah bertransformasi menjadi aktor sipil yang terlibat aktif dalam isu kekerasan struktural, konflik sosial, dan penguatan demokrasi sipil.
Kegiatan Kamisan kali ini tidak hanya berlangsung dalam satu hari. Diskusi publik dan pameran foto yang menampilkan sejarah perjuangan para korban dan pendamping HAM dijadwalkan berlangsung hingga Sabtu (9/8), berlokasi di eks Bandara Temindung, Samarinda.
Kehadiran tokoh-tokoh nasional dalam aksi ini memberi makna yang lebih luas terhadap pentingnya solidaritas lintas wilayah dan generasi dalam memperjuangkan keadilan. Ia menjadi pengingat bahwa pelanggaran HAM bukan sekadar peristiwa masa lalu, melainkan agenda yang masih menuntut penyelesaian. Dengan terus hadir di ruang-ruang publik, aktivisme ini memperkuat ingatan kolektif dan meneguhkan komitmen terhadap demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan. (*)