Polisi “Tukang Tangkap” dan “Tukang Pukul” Demonstran: Represi Negara dalam Selubung Hukum

HARIANRAKYAT.CO – Stigma “polisi tukang tangkap dan tukang pukul” terhadap aparat keamanan dalam menghadapi demonstrasi bukanlah sekadar karikatur tanpa dasar. Ia adalah cerminan pahit dari realitas represi negara yang kerap bersembunyi di balik dalih penegakan hukum dan ketertiban. Citra yang mengakar ini bukan hanya merusak kredibilitas institusi Polri, tetapi juga mengancam fondasi demokrasi yang seharusnya menjamin hak warga negara untuk berekspresi dan berpendapat.

Berbagai laporan, kesaksian korban, dan bahkan rekaman video seringkali menunjukkan praktik kekerasan fisik, intimidasi, dan penggunaan kekuatan berlebihan dalam pemrosesan, interogasi, atau bahkan penangkapan biasa. Misalnya saja dalam banyak aksi-aksi seperti Reformasi di korupsi, Mosi Tidak Percaya, Aksi Darurat Demokrasi, penolakan UU TNI, peringatan Mayday 2025, peringatan 27 Tahun Reformasi, Refresifitas Pedagang pasar subuh di samarinda, Penangkapan Masyarakat Adat Maba Sangaji dan masih banyak lagi. Kekerasan ini Seringkali tidakproporsional dan tidak beralasan, meninggalkan luka fisik dan trauma psikologis.

Paradigma Kekuasaan Dan Kontrol

Sejak era Orde Baru, aparat keamanan seringkali ditempatkan sebagai alat pengaman kekuasaan, bukan pelayan masyarakat. Paradigma ini masih terasa kuat hingga hari ini. Seperti yang diungkapkan oleh Jeffrey Winters dalam bukunya, Oligarchy (2011), institusi negara, termasuk aparat keamanan, seringkali digunakan oleh elite penguasa untuk mempertahankan status quo dan menekan disensi. Dalam konteks demonstrasi, hal ini termanifestasi dalam pendekatan yang mengedepankan kontrol dan penindasan, alih-alih fasilitasi dan perlindungan hak asasi manusia.

Baca juga  50 Pejabat Fungsional Dilantik, Ini Harapan Wali Kota Andi Harun

“Pendekatan represif terhadap demonstrasi menunjukkan kegagalan institusi kepolisian untuk beradaptasi dengan prinsip-prinsip demokrasi modern,” ujar Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (Dalam Irianto, Sulistyowati. (2009). Hukum yang Bergerak). “Mereka masih terjebak dalam logika keamanan nasional yang sempit, melihat setiap unjuk rasa sebagai ancaman yang harus diredam, bukan sebagai ekspresi kebebasan yang harus dihormati.”

Legalitas yang Dipertanyakan dan Kekerasan Berlebihan

Narasi “penegakan hukum” seringkali menjadi tameng legitimasi atas tindakan-tindakan represif. Penangkapan sewenang-wenang dengan dalih “provokasi” atau “mengganggu ketertiban umum” menjadi modus operandi yang lazim. Padahal, definisi “provokasi” seringkali ambigu dan rentan disalahgunakan untuk m)embungkam kritik.

“Kekerasan fisik terhadap demonstran, bahkan terhadap mereka yang sudah tidak berdaya, adalah pelanggaran HAM berat yang tidak bisa ditolerir,” tegas Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (Dalam www.amnesty.id/04/2024). “Prosedur penangkapan seringkali tidak sesuai standar hukum acara pidana, di mana demonstran langsung diciduk tanpa pemberitahuan jelas dan terkadang mengalami perlakuan kasar saat dibawa ke kantor polisi. Ini bukan hanya tentang penangkapan, tapi juga tentang dehumanisasi.”

Laporan-laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan organisasi masyarakat sipil lainnya secara konsisten mencatat kasus-kasus penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian dalam menghadapi demonstrasi. Misalnya, dalam Laporan Tahunan Komnas HAM (berbagai edisi), disebutkan bahwa polisi seringkali menggunakan gas air mata secara tidak proporsional, melakukan pemukulan, hingga penangkapan massal yang tidak disertai bukti kuat.

Baca juga  Pemkot Samarinda Perketat Verifikasi Siswa Sekolah Rakyat

Minimnya Akuntabilitas dan Impunitas

Salah satu persoalan krusial yang melanggengkan citra negatif ini adalah minimnya akuntabilitas. Kasus-kasus kekerasan polisi terhadap demonstran jarang sekali berujung pada sanksi berat atau pemecatan. Mekanisme pengawasan internal yang lemah dan kecenderungan untuk saling melindungi antaraparat (esprit de corps) menciptakan budaya impunitas.

Kurangnya transparansi dalam proses penyelidikan dan penegakan disiplin terhadap anggota yang melanggar juga menjadi sorotan. Masyarakat jarang mengetahui hasil akhir dari laporan pengaduan terkait kekerasan polisi, membuat rasa keadilan sulit tercapai.

Reformasi Total !! : Dari Represi Menuju Pelayanan Publik

Untuk memutus rantai stigma “polisi tukang tangkap dan tukang pukul,” institusi Polri harus melakukan reformasi mendalam yang bukan hanya bersifat kosmetik.

Pertama, pergeseran paradigma dari pendekatan keamanan menjadi pelayanan publik harus benar-benar diinternalisasikan. Polisi harus melihat demonstrasi sebagai bagian integral dari proses demokrasi, bukan sebagai gangguan. Pelatihan ulang (re-training) yang komprehensif tentang HAM, etika profesi, dan penanganan massa yang humanis sangat diperlukan.

Kedua, penegakan hukum yang tegas terhadap siapapun yang melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM. Mekanisme pengawasan internal harus diperkuat, termasuk peran Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil dalam proses pengawasan dan pengaduan. Adanya mekanisme independen untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM oleh polisi akan meningkatkan akuntabilitas.

Baca juga  DPRD Samarinda Soroti Lemahnya Mitigasi Bencana Pasca Kebakaran Big Mall

Ketiga, revisi peraturan dan prosedur yang mengatur penanganan demonstrasi. Perlu ada kejelasan mengenai batasan penggunaan kekuatan, penggunaan alat pengendali massa, dan prosedur penangkapan yang harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Aturan yang ambigu hanya akan menjadi celah bagi penyalahgunaan wewenang.

Jika Polri tidak segera bertransformasi dan terus mempertahankan mentalitas “tukang tangkap” dan “tukang pukul”, maka kepercayaan publik akan semakin tergerus. Di negara demokrasi, legitimasi aparat penegak hukum tidak bisa dibangun di atas rasa takut, melainkan di atas rasa hormat dan kepercayaan yang diperoleh melalui profesionalisme, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Stigma ini adalah panggilan darurat bagi institusi Polri untuk merefleksikan diri dan memilih apakah ingin dikenang sebagai pelindung rakyat atau sebagai alat represi kekuasaan.

Referensi :

· https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/lubang-hitam-pelanggaran-ham-kekerasan-polisi-terhadap-unjuk-rasa-peringatandarurat/12/2024/.

· Irianto, Sulistyowati. (2009). Hukum yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

· Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Laporan Tahunan Komnas HAM. Berbagai edisi. (Untuk data dan analisis terkait pelanggaran HAM oleh aparat).

· Winters, Jeffrey A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

Ditulis Oleh : Wawan Darmawan – Komite Politik Kaltim

Bagikan: